WISATA RELIGIUS

"SENDANGSONO"

Sendang Sono bisa dijangkau setelah melewati jalan berliku di kaki bukit Menoreh. Anda bisa memilih dua jalur jika ingin menjangkaunya dari pusat kota Yogyakarta, melewati Jalan Godean hingga Sentolo kemudian belok ke kanan, atau melewati Jalan Magelang hingga pertigaan Pasar Muntilan kemudian belok ke kiri. Jaraknya sekitar 45 kilometer, atau satu jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan bermotor.

Sebuah pintu dengan dinding samping terbuat dari batu akan mengantar anda masuk ke kompleks ziarah yang luas, terbagi atas kapel-kapel kecil, lokasi Jalan Salib, Gua Maria, pendopo, sungai dan tempat penjualan perlengkapan ibadah. Udara sejuk akan menyapa anda begitu memasuki kompleks ziarah, tak heran sebab kompleks ini ditumbuhi banyak pepohonan.

Sendang Sono dinamai berdasarkan letaknya. Sendang berarti mata air, sementara Sono berarti pohon sono, sehingga nama itu menunjukkan bahwa sendang ini terletak di bawah pohon sono. Sendang beserta pohon sono dapat dijumpai dengan berbelok ke kanan dari pintu masuk, sayangnya anda tak bisa melihat sendang dengan leluasa karena bilik sendang kini ditutup dengan kotak kaca.

Sebelum tahun 1904, sendang ini lebih dikenal dengan nama Sendang Semagung, berfungsi sebagai persinggahan para bhikku yang ingin menuju daerah Boro, wilayah sebelah selatan Sendang Sono. Namun, sejak 20 Mei 1904 atau kedatangan Pastur Van Lith dan pembaptisan 173 warga Kalibawang menggunakan air sendang, tempat ini mulai berubah fungsi sebagai tempat ziarah umat Katholik.

Memasuki kapel utama di kompleks ziarah ini, anda bisa mengenang peristiwa pembaptisan yang terjadi 102 tahun lampau itu, sebab di kapel itu terdapat sebuah relief yang menggambarkan prosesi pembaptisan. Sementara memasuki Kapel bunda Maria dan Kapel Para Rasul, anda akan mengingat perjuangan Bunda Maria dan 12 rasul pertama Kristus.

Jika ingin mengenang perjuangan salah satu warga penggerak komunitas Katholik Sendang Sono, anda bisa menuju ke pemakaman di dekat Kapel bunda Maria. Di sana, anda akan menemukan makam Barnabas Sarikromo, sahabat baik Pastur Van Lith yang juga menjadi salah satu warga yang dibaptis pada tahun 1904 dan ditetapkan sebagai katekis pertama di daerah tersebut.

Sarikromo yang dilahirkan pada tahun 1874 bisa dikatakan seorang yang menerima rahmat karena senantiasa mendekatkan diri pada Tuhan. Ketika muda, ia menderita sakit kaki yang sulit disembuhkan. Dalam doa dan janjinya untuk mengabdikan diri pada Tuhan jika kakinya disembuhkan, ia bertemu dengan Pastur Van Lith yang kemudian membantu pengobatannya ke seorang bruder hingga sembuh.

Jalan salib pendek bisa menjadi pilihan ibadah untuk mengenang kesengsaraan Kristus memanggul kayu Salib. Di setiap pemberhentian jalan salib itu, anda bisa menyalakan lilin sekaligus berdoa dan mengingat peristiwa-peristiwa penting dalam perjalanan Kristus menuju Bukit Golgota, seperti saat kristus jatuh dua kali saat memanggul kayu salib, saat Veronica mengusap wajah Kristus dengan sapu tangannya hingga saat akhir menjelang kematian Kristus.

Berdoa di depan Gua Maria yang terletak di belakang pohon sono juga bisa menjadi pilihan untuk mencari ketenangan batin. Banyak orang memanjatkan doa dengan bersimpuh dan menyalakan lilin di depan gua ini. Anda bahkan bisa menuliskan permohonan atau curahan hati anda dalam secarik kertas, lalu memasukkannya dalam pot tempat pembakaran surat agar Tuhan menerimanya. Asal tahu, patung Bunda Maria yang ada di kompleks ini didatangkan khusus dari Spanyol.

Selain menenangkan diri dan berdoa, anda juga bisa menikmati keindahan arsitektur kompleks yang dirancang oleh Y.B Mangunwijaya Pr dan meraih Aga Khan Awards ini. Anda bisa duduk santai di pendopo sanbil menikmati bangunan sekeliling yang didominasi bahan batu, atau berdiri di jembatan kecil sambil menikmati indahnya sungai yang mengalir di bawahnya.

Saat hendak pulang, jangan lupa mengambil air sendang dengan cara menuju keran-keran air yang terdapat di sisi kanan sungai. Membawa pulang air sendang dan meminumnya, dipercaya dapat mendatangkan berkah. Dengan membawa air sendang itu, tentu perenungan dan permohonan yang disampaikan selama ibadah akan lebih komplit.







"WISATA RELIGIUS DI GUNUNG LANANG"

Selama ini, Gunung Lanang populer sebagai tempat berburu wahyu. Setiap bulan Suro ritual berskala besar digelar disertai pagelaran wayang. Tetapi, ada misteri lain terkait asal mula gunung ini, yang nyaris tertutup oleh berbagai mitos lain.



Gunung Lanang terletak di kawasan Pantai Congot, Kulonprogo. Gunung ini terkenal sebagai tempatnya para pelaku tirakat yang memburu pangkat dan derajat. Bahkan, wahyu keprabon. Tetapi, realitas Gunung Lanang ini membuat orang bertanda tanya. Pasalnya, berbagai bangunan yang ada di komplek petilasan Gunung Lanang ini diberi nama-nama berbau Hindu. Misalnya, Astana Jingga, Badraloka Mandira, Candi Wisuda Panitisan dan Tirta Kencana. Kecuali itu, di komplek Tirta Kencana juga didapati sebuah prasasti Ajisaka, terbuat dari semen berbentuk mirip sebuah pohon dengan dahan dan batangnya penuh aksara Jawa.

POSMO EXCLUSIVE-Nama-nama berbau Hindu yang disematkan pada sejumlah bagian komplek Gunung Lanang, memiliki arti yang sungguh menggugah daya tarik mistis seseorang. Astana Jingga artinya sebuah tempat yang memancarkan sinar kuning kemerahan. Badraloka Mandira berarti sebuah bangunan dari batu bata yang memancarkan sinar keagungan. Sedangkan kata ‘Lanang’ diartikan sebagai lelaki, yang merujuk pada keyakinan bahwa Gunung Lanang tersebut merupakan petilasan seorang bangsawan dari Mataram Kuno.

Melihat nama-nama bercirikan Hindu dan maknanya, serta keyakinan sejumlah orang yang mengatakan Gunung Lanang sebagai petilasan bangsawan Mataram Kuno, tentu akan terhenyak jika kemudian melihat langsung petilasan ini. Sebab, segala nama dan ciri-ciri Mataram Kuno sebagaimana diyakini itu sungguh terasa bagai mitos yang dipaksakan. Sebab, tak ada satu pun ciri peninggalan zaman Mataram Kuno yang bisa didapatkan di tempat ini. Mengapa nama-nama itu disematkan, dikenal luas dan bagaimana sesungguhnya riwayat Gunung Lanang?

Nuansa Hindu

Gunung Lanang sebenarnya hanya sebuah bukit kecil di kawasan dusun Bayeman, Sindutan, Temon Kulonprogo, Jogjakarta. Pada puncaknya, didapati sebuah bangunan mirip monumen yang diberi nama Sasana Sukma. Puncak ini merupakan tempat dilakukannya berbagai ritual. Sebelum masuk ke puncak itu, di bawahnya terdapat bangunan terbuka yang terdiri dari empat trap. Tempat ini disebut Candi Wisuda Panitisan.

Di sebelah barat Gunung Lanang, terdapat komplek bangunan Purna Graha atau Graha Kencana dan Tirta Kencana. Purna Graha merupakan tempat ritual khusus yang keberadaannya selalu terkunci untuk melindungi benda-benda yang dianggap berharga seperti pusaka. Tirta Kencana merupakan tempat air suci yang terbagi dalam dua bilik. Kedua bilik diberi genthong besar sebagai tempat menampung air suci. Dua bilik itu diberi nama Nawangwulan dan Nawangsih. Dua nama bidadari zaman Joko Tarub ini semakin membuyarkan kesan mistis zaman Mataram Kuno. Misteri apa yang sebenarnya tersembunyi di balik semua ciri fisik Gunung Lanang ini?

Prawiro Suwito (81), juru kunci Gunung Lanang yang masih sangat bugar kesehatannya, mengatakan kepada posmo, Gunung Lanang ini sudah dikenal sejak zaman Jepang. Di kala itu, Gunung Lanang adalah sebuah pasar yang ramai pada malam Selasa dan Jumat Kliwon. Bersamaan dengan itu, Gunung Lanang juga sudah dikenal keramat. Prawiro tak bisa menjelaskan bagaimana kemudian nama-nama Hindu itu disematkan di berbagai bagian komplek Gunung Lanang. Prawiro hanya menerima saja setiap bentuk sumbangan dari pelaku tirakat, yang hendak membangun kawasan Gunung Lanang berdasarkan wangsit.

Juru kunci Gunung Lanang, menurut Prawiro, sudah berganti selama empat generasi. Prawiro sendiri sudah 15 tahun menjadi juru kunci di gunung itu. Menurutnya, juru kunci diwariskan secara turun-temurun. Tak seorang pun kuat menjadi juru kunci jika bukan dari garis keturunan juru kunci. Masyarakat setempat meyakini, Gunung Lanang adalah pengayomnya. Apa yang terungkap dari penuturan jujur Prawiro Suwito tentang riwayat Gunung Lanang ini, ternyata semakin membuat ciri-ciri Hindu sebagaimana tampak pada nama-nama bagian komplek gunung tersebut menjadi samar. Pasalnya, Prawiro justru mengemukakan fakta tutur yang sungguh lain dari mitos Gunung Lanang yang selama ini dikenal sebagai petilasan bertapa bangsawan Mataram Kuno.



Petilasan Adipati Anom

Sedikit saja yang bisa digali dari penuturan juru kunci Gunung Lanang. Tetapi, sepenggal riwayat yang disampaikan Prawiro menampakkan titik terang terkait kebenaran asal-mula Gunung Lanang. Menurut Prawiro, Gunung Lanang sebenarnya adalah petilasan Adipati Anom, putra Sunan Mangku Rat I. Adipati Anom yang bersekutu dengan Belanda, disebutkan oleh Prawiro singgah di Gunung Lanang, setelah berhasil lolos dari kejaran para musuh di Cilacap.

Keterangan Prawiro ini mengungkap sejarah Mataram Hadiningrat, pasca Geger Trunojoyo di tahun 1675-1677 Masehi. Seperti diketahui, Mataram Hadiningrat di Pleret memang pernah runtuh oleh pemberontakan besar yang dipimpin oleh putra Adipati Cakraningrat di Madura, Trunojoyo. Runtuhnya Keraton Mataram di Pleret itu memaksa Sunan Mangku Rat I melarikan diri ke arah barat, bersama putra pangerannya. Sunan Mangku Rat I kemudian dalam Babad Ing Sengkala disebutkan wafat pada 10 Februari 1677 Masehi di Wanayasa, Banyumas. Sunan Mangku Rat I dimakamkan di Tegal Arum, sehingga kemudian dikenal pula dengan julukan Sunan Tegal Arum.

Sebelum meninggal, Sunan Mangku Rat I telah menunjuk putranya, Adipati Anom, untuk menggantikannya sebagai raja dengan dukungan pihak Belanda. Dengan demikian, Adipati Anom segera kembali ke Jogjakarta, guna merebut kembali Keraton Mataram di Pleret yang saat itu sudah dikuasai oleh Adipati Trunojoyo. Menjadi logis keterangan Prawiro, jika pada saat perjalanan kembali dari Banyumas/Cilacap itu, Adipati Anom singgah di Gunung Lanang bersama seorang putri yang tidak diketahui namanya.

Prawiro mengatakan, selama beberapa hari lamanya, Adipati Anom menetap di puncak Gunung Lanang. Sedangkan putri yang dibawanya dari Cilacap itu tinggal di sebelah barat Gunung Lanang, yang kini menjadi komplek Tirta Kencana. Prawiro mengatakan, Tirta Kencana itu dulu hanya sebuah Sendang bernama Sinongko.



Hubungan dengan Mataram

Riwayat Gunung Lanang versi juru kunci tersebut, pada kemudian hari dikuatkan oleh kedatangan sejumlah kerabat Keraton Mataram di Jogjakarta yang bertirakat di gunung itu. Bahkan, Prawiro mengatakan, Sultan HB IX mendapatkan wahyu keprabon di Gunung Lanang. Banyak lagi menurut Prawiro, kerabat Keraton Mataram yang datang ke Gunung Lanang dengan menyamar. Hubungan antara Keraton Jogjakarta dengan Gunung Lanang ini juga dikuatkan lagi dengan adanya pemberian tombak pusaka dari Keraton Jogjakarta. Sayang, menurut Prawiro, tombak pusaka itu telah hilang dicuri orang dan hanya tinggal gagangnya saja.

Prawiro juga mengatakan, ketika Sultan HB IX jumeneng praja, kakek buyutnya yang menjadi juru kunci diberi nama keraton, Harjowiyono. “Nama asli buyut saya itu Singojoyo. Dari mbah buyut saya itulah diceritakan riwayat Adipati Anom yang setelah bertahta bergelar Sunan Mangku Rat II”, ujar Prawiro.

Pada perkembangan selanjutnya, di sebelah selatan komplek Sendang Sinongko atau Tirta Kencana, terdapat bangunan tinggi yang disebut Gapura atau Astana Silongok. Bangunan ini menurut Prawiro digunakan oleh kerabat Keraton yang ingin menatap keluasan Laut Kidul. Diduga, bangunan ini dibuat di masa Sultan HB IX, sebagai sarana kontak batin dengan Ratu Kidul.

Adanya kesaksian mistis tentang didapatkannya wahyu keprabon Sultan HB IX di Gunung Lanang, pada masa berikutnya menarik sejumlah tokoh penting di negara ini. Prawiro mengatakan, seseorang yang mengaku utusan Pak Harto, pengusa ORBA, pernah datang bertirakat selama beberapa hari di Gunung Lanang. Prawiro juga menyebut pernah datangnya seseorang yang mengaku sebagai utusan Megawati.

Kini, Gunung Lanang tetap dilestarikan. Ritual besar diselenggarakan setiap malam 1 Suro. Dari para pelaku tirakat, diketahui godaan di Gunung Lanang ini cukup berat. Antara lain cobaan dari siluman Ular putih, Macan putih, Perkutut putih dan sejenisnya. Ada pun sang mbaurekso Gunung Lanang menurut Prawiro adalah Eyang Sidik Permana. Para pelaku tirakat yang berhasil ujubnya akan ditemui oleh Eyang Sidik Permana yang menurut Prawiro berjenggot panjang nyaris menyentuh tanah. Mengenakan udheng dan busana serba hitam. “Dari kesaksian lain, Sunan Kalijaga juga bisa muncul jika ujubnya terkabul”, pungkas Prawiro.